Nafsu mardiyyah yaitu nafsu yang diridhai oleh Allah SWT. Yang dimaksud dengan nafsu yang diridhai oleh Allah yaitu nafsunya mencapai puncak keridhaan Allah. Keridhaan Allah pada nafsu tersebut diantaranya adalah Allah menganugerahi anugerah-anugerah kepada nafsu tersebut. Anugerah-anugerah itu seperti anugerah keikhlasan dan kenikmatan dalam beribadah kepada Allah. Anugerah ketawakalan kepada Allah. Anugerah keridhaan atas takdir Allah dan beraneka macam anugerah-anugerah kemuliaan yang Allah limpahkan terhadap nafsu tersebut.
Dan Allah melimpahi anugerah-anugerah kepada nafsu tersebut karena Allah telah ridha terhadap nafsu tersebut.
Nafsu berhasrat kepada dunia dan bergairah kepada dunia tetapi karena nafsu itu dianugerahi beribadah kepada Allah, maka hasrat dan gairah dunia nafsu tersebut digunakan untuk beribadah kepada Allah.
Karena Allah juga menganugerahi keikhlasan dan kenikmatan dalam beribadah kepada nafsu tersebut, maka dalam nafsu menggunakan hasrat dan gairah duniawi untuk beribadah kepada Allah menggunakannya dengan penuh keikhlasan dan kenikmatan bukan dengan penuh pembebanan dan keterpaksaan.
Setelah nafsu berupaya memenuhi hasrat dan gairah duniawinya, walaupun upaya tersebut tidak membawa hasil sehingga nafsu tidak bisa memenuhi hasrat duniawinya dan tidak mendapatkan kepuasan dari gairah duniawinya. Tetapi karena nafsu itu dianugerahi keridhaan atas takdir Allah oleh Allah, maka nafsu ridha atas takdir Allah dimana hasrat dan gairah duniawinya tidak terpenuhi.
Dan nafsu dalam ridha terhadap takdir Allah semacam itu, ridhanya penuh dengan keikhlasan dan kenikmatan. Dan itu semua karena Allah menganugerahi anugerah ikhlas, nikmat dan ridha atas takdir Allah.
Dengan nafsu itu diridhai oleh Allah maka Allah menganugerahi berbagai macam anugerah kepada nafsu sehingga nafsu dalam menjalani kehidupan dan melakukan aktifitas hidupnya, penuh dengan keikhlasan, kenikmatan, ketawakalan dan keridhaan atas takdir Allah. Maka nafsu selalu bahagia walaupun hasrat dan gairah duniawinya tidak terpenuhi dan tidak terpuaskan.
Yang menjadikan nafsu itu sampai pada tingkat yang diridhai oleh Allah karena sebelumnya nafsu telah berupaya untuk ridha dalam beribadah kepada Allah, ridha dalam menerima takdir-takdir Allah, ridha dalam menuhankan Allah, dan ridha Allah menjadi Tuhannya.
Karena nafsu selalu berupaya semacam itu, maka upaya-upaya dari nafsu semacam itu bisa menjadikan akhirnya Allah ridha kepada nafsu tersebut sehingga Allah menganugerahi berbagai macam anugerah.
Nafsu bisa ada upaya semacam itu karena sebelumnya telah diilhami oleh Allah. Dengan turun ilham kepada nafsu itu, dimana Allah menampakkan nilai kebenaran pada nafsu itu dan nafsu tersebut menerima kebenaran itu dan membenarkannya, juga nafsu itu tertuntut untuk mengamalkannya.
Maka dengan adanya tertuntut untuk mengamalkannya, maka akhirnya nafsu berupaya untuk ridha atas takdir Allah, ridha untuk beribadah kepada Allah, ridha dalam menuhankan Allah dll.
Nafsu berupaya semacam itu karena nafsu diilhami terlebih dahulu oleh Allah. Nafsu diilhami oleh Allah apabila pada diri nafsu itu tidak ada gejolak-gejolak negatif, kecenderungan-kecenderungan negatif, dorongan-dorongan dan kemauan-kemauan negatif, reaksi-reaksi dan respon-respon negatif.
Bila nafsu itu tidak ada respon, reaksi, kecenderungan, dorongan-dorongan dan gejolak-gejolak negatif, jadilah nafsu itu muthmainnah dan nafsu muthmainnah semacam itu membuat nafsu akan dilimpahi ilham oleh Allah.
Dengan demikian, untuk mencapai nafsu itu dapat keridhaan dari Allah bermula yaitu dari tiadanya gejolak-gejolak negatif pada nafsu, tiadanya reaksi-reaksi negatif pada nafsu dan tiadanya dorongan-dorongan negatif pada nafsu tersebut.
Maka yang harus kita upayakan agar dapat mencapai nafsu yang diridhai oleh Allah, yang paling dasar adalah jangan sampai ada reaksi, gejolak, respon-respon dan dorongan-dorongan negatif dari nafsu dalam menghadapi segala sesuatu. Bila kita terus berupaya semacam itu, insya Allah nafsu bersih dari kenegatifan maka akan terkucurlah ilham dari Allah. Terkucurnya ilham mendatangkan nafsu berupaya untuk menuhankan Allah dan setelah terus menerus berupaya untuk menuhankan Allah, maka jadilah Allah ridha kepada nafsu, dan bila Allah telah ridha kepada nafsu, anugerah Allah akan melimpah banyak kepada nafsu. Sehingga akhirnya nafsu dalam menjalani kehidupannya dan dalam melakukan aktifitas hidupnya atau merespon segala sesuatu, selalu bernilai ibadah dan selalu penuh dengan keikhlasan dan kenikmatan. Itulah nafsu mardiyyah.
Dikatakan dalam QS Al Fajr: 27-30, “Wahai nafsu yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai-Nya dan masuklah kamu ke dalam golongan hamba-hamba-Ku yang baik dan masuklah kamu ke dalam surga-Ku.” Panggilan ini kepada nafsu muthmainnah tetapi lanjutan dari ayat tersebut yaitu nafsu muthmainnah yang ridha dan sekaligus diridhai oleh Allah.
Dari nafsu muthmainnah, perkembangan selanjutnya nafsu mulhamah (nafsu yang diilhami), setelah nafsu diilhami maka nafsu rodiyah (nafsu yang ridha dalam menuhankan Allah) dan selanjutnya adalah nafsu mardiyyah (nafsu yang diridhai oleh Allah).
Kalau sudah sampai ke tingkat ini, maka jadilah orang yang memiliki nafsu semacam itu, berhak kembali kepada Allah dengan diridhai oleh Allah dan dipersilakan masuk surga oleh Allah. Itulah nafsu mardiyyah.
Bila kita mau membaca diri kita masing-masing, siapa tahu nafsu mardiyyah itu sewaktu-waktu ada pada diri kita. Misalnya kita bangun di malam hari, setelah bangun di malam hari, keseluruhan diri kita ingin shalat tahajjud, pikiran, perasaan dan hati kita ingin menghadap kepada Allah dan kemudian waktu melakukannya terasa nikmat dan khusyuk sekali, tidak ada beban waktu mau shalat tahajjud, hati senang, perasaan dan pikiran tidak terikat dengan apa-apa, terkecuali tertuju untuk shalat tahajjud dan setelah selesai kita berdzikir dengan nikmat sehingga waktu berlalu begitu cepat, dua jam seakan-akan seperti hanya lima menit, di saat itulah kita sedang mendapat anugerah dari Allah. Anugerah keikhlasan dan kenikmatan dalam beribadah kepada Allah. Di saat itulah, nafsu berada dalam keridhaan Allah. Bila kita telah mengalami kejadian semacam itu, bersyukurlah kepada Allah karena Allah telah menganugerahi keridoan. Janganlah bercerita kepada orang lain dengan penuh kebanggaan sebab hakikatnya, ibadah bisa khusyuk, hati, ingatan dan perasaan terpusat untuk beribadah itu karena anugerah Allah, bukan kemampuan diri kita. Sebab dengan bercerita, bisa mendatangkan merasa dari diri kita bukan anugerah dari Allah.
Kalau seandainya di dalam hati kita ada kesan seakan-akan itu bukan anugerah dari Allah maka akan sulit untuk bersyukur pada Allah. Dan kalau tidak ada syukur kepada Allah, belum tentu nikmat semacam itu akan terulang kembali kepada diri kita.
Tetapi bila kita bersyukur kepada Allah, tidak mau cerita pada siapa-siapa karena itu adalah anugerah dari Allah, dan kalaupun cerita pada orang lain, ceritanya dengan penuh mantap, itu adalah anugerah dari Allah, kita mengakui bahwa kita tidak mempunyai kemampuan semacam itu, maka bila kita bercerita dibarengi dengan bersyukur kepada Allah, insya Allah anugerah-anugerah tadi akan berulang melimpah kepada kita di masa yang akan datang.
Bercerita tentang nikmat yang Allah berikan kepada kita dengan penuh keikhlasan, itu adalah suatu kebajikan. Bersyukur kepada Allah atas anugerah yang Allah limpahkan kepada kita, mendatangkan nikmat akan melimpah kembali pada kita. Itulah yang harus kita sikapi jika sewaktu-waktu terjadi kejadian semacam itu. Tetapi, ini tidak mesti shalat tahajjud, bisa saja shalat subuh, shalat maghrib, shalat isya, atau ibadah mengkaji ajaran-ajaran agama Allah.
Anugerah-anugerah kenikmatan semacam itu tidak dapat dibaca kapan datangnya, karena anugerah-anugerah semacam itu datang atas kehendak Allah.
***
Mutiara Kata :
* Apa yang kita pelajari hari ini mungkin tidak berguna lagi pada hari esok, tetapi jika kita tidak belajar hari ini sudah tentu kita akan menjadi manusia yang sebodoh-bodohnya pada hari esok.
* Mengusahakan sesuatu adalah jauh lebih baik daripada tidak melakukan apa-apa, walaupun adakalanya yang diusahakan itu gagal. Dari kegagalan akan terbentuknya kemahiran.
* Perkataan lemah lembut dan ikhlas itu melembutkan hati yang lebih keras daripada batu besar, dan perkataan yang kasar itu mengasarkan hati yang lebih halus daripada sutera.
di kutip dariKAJIAN AKH dan QOLBU
Daarut Tauhiid Jakarta
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar